Ruang Terbuka Hijau (RTH)
A. Pengertian
Menurut sumber yang diperoleh penulis, Ruang Terbuka Hijau (RTH) atau
disebut juga dengan Green Openspaces merupakan kawasan permukaan tanah
yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk perlindungan habitat
tertentu, sarana lingkungan/kota, dan budidaya pertanian. RTH yang ideal
yaitu 30% dari luas wilayah suatu kota. Kenyataannya kota-kota di
Indonesia belum memiliki RTH seperti yang disyaratkan dalam kesepakatan
internasional tersebut. Bahkan masih jauh dari yang ditetapkan
pemerintah yaitu minimal sebanyak 20%. Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun
2007 tentang penataan ruang juga telah disebutkan bahwa 30% dari wilayah
kota harus berupa RTH yang terdiri dari 20% publik (yang dikelola
pemerintah) dan 10% privat (milik perseorangan atau institusi
tertentu).
Menurut Kordinator Kampanye dan Advokasi dari Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (WALHI), Cut Nurhayati, kebijakan terkait kawasan Ruang
Terbuka Hijau (RTH) di sebagian kota, terutama kota-kota besar di tanah
air masih cukup minim. Hal ini juga didukung dengan pengakuan Tim pakar
dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang bertugas langsung
dibawah kendali Presiden RI bahwa belum satu kotapun di tanah air yang
mampu menerapkan 30% ketesediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Indonesia.
RTH ada 2 jenis yaitu berupa kawasan yang terdiri dari cagar alam,
hutan lindung, hutan bakau, lahan pertanian, perkebunan, dan lain-lain
dan yang berupa kawasan untuk menciptakan keseimbangan misalnya halaman
rumah sebagai daerah resapan air. Kedua jenis ini tergolong dalam RTH
Lindung dan RTH Binaan.
Ruang Terbuka Hijau memiliki banyak manfaat selain mengurangi dampak
permasalahan lingkungan yang penulis sebutkan di atas yaitu dalam
memperindah lingkungan kota, cadangan oksigen, tempat rekreasi penduduk
sekitar, tempat olahraga, komunikasi, pendidikan, dan juga menciptakan
peluang ekonomi.
RTH juga dapat membawa pengaruh yang baik pada perasaan penduduk
yaitu merasa damai dan bahagia, jauh dari stres. Sayangnya, penambahan
RTH sangat sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan adanya masalah dalam
pembelian dan ketersediaan lahan yang ada.
Kebutuhan RTH sangat mendesak. Terlebih dampak dari ketidakseimbangan
lingkungan yang terjadi sekarang, tentu penting untuk membangun RTH.
Keseimbangan akan terjamin jika ada keserasian antara lingkungan alam
itu sendiri dengan lingkungan kota. Kualitas lingkungan kota akan
terjaga bahkan lebih sehat, indah, nyaman, dan bersih dengan adanya RTH
terlebih jika kondisinya 30% dari luas wilayah suatu kota.
B. Kota-kota yang Sudah Mulai Menerapkan
1. Banda Aceh
Ruang terbuka hijau (RTH) adalah salah satu elemen terpenting kota
hijau. Ruang terbuka hijau berguna dalam mengurangi polusi, menambah
estetika kota, serta menciptakan iklim mikro yang nyaman. Hal ini dapat
diciptakan dengan perluasan lahan taman, koridor hijau dan lain-lain.
Oleh karena itu, visi green city pada dasarnya juga sejalan dengan visi
cyber city kota Banda Aceh. Dalam hal sosial, green open space yang
atraktif adalah public sphere yang menarik untuk tempat pertemuan dan
interaksi sosial. oleh karena itu, keberadaan green open space yang
mencukupi dapat berperan signifikan dalam menghidupkan kehidupan sosial
warga. Oleh karena itu, ia sejalan dengan visi sosial islam dan Aceh
yang menghendaki kehidupan sosial yang berbasis kekeluargaan dan
persaudaraan untuk membangun “ummah” yang kokoh. Dari sisi
lingkungan, green open space berperan dalam mengurangi polusi,
menciptakan iklim mikro yang nyaman, meningkatkan keindahan kota dan
lain-lain.
Mengingat pentingnya peranan ruang terbuka hijau dalam visi green
city, Pemko Banda Aceh telah melahirkan Qanun No. 4 Tahun 2009 tentang
RTRW Kota Banda Aceh 2009-2029. Dalam qanun ini, ditetapkan bahwa
pengembangan ruang terbuka hijau (RTH) meliputi taman kota, hutan kota,
jalur hijau jalan, sabuk hijau, RTH pengaman sungai dan pantai atau RTH
tepi air. Pengaturan ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Banda Aceh
disebar pada setiap desa/gampong (90 gampong).
Jumlah RTH hingga tahun 2011 meliputi taman kota tersebar pada 40
gampong dan hutan kota tersebar pada 19 gampong. Target pencapaian RTH
gampong setiap 5 tahun sebanyak 12 taman kota dan 18 hutan kota sehingga
pada tahun 2029 pemanfaatan ruang terbuka hijau telah tersebar merata
di seluruh gampong di Kota Banda Aceh.
Sesuai dengan RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029, pemerintah Kota
Banda Aceh menargetkan RTH publik sebesar 20,52%. Hingga tahun 2011 ini
luas RTH (ruang terbuka hijau) yang dimiliki oleh Pemerintah Kota adalah
sebesar ± 12,0%. Untuk mencapai target 20,52% tersebut, Pemerintah Kota
terus berupaya mengimplemetasikan berbagai kebijakan dan program
perluasan ruang terbuka hijau.
Untuk RTH privat, kebijakan Pemerintah Kota Banda Aceh sudah menerapkan
RTH seluas 30 – 40% dari setiap persil bangunan, dimana angka persentase
luasan RTH ini sudah melebihi target yang ditetapkan dalam UU Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu 10%. RTH yang dikembangkan di
Banda Aceh meliputi sempadan sungai, sempadan pantai, sepanjang jaringan
jalan, pemakaman, taman kota yang tersebar pada setiap kecamatan, dan
hutan kota.
Pada kawasan pesisir pantai, RTH berfungsi sebagai penyangga bagi daerah
sekitarnya dan penyangga antara kawasan pesisir dengan kawasan
terbangun juga berfungsi mereduksi gelombang pasang dan meminimalkan
gelombang tsunami. Oleh karena itu, bagi Kota Banda Aceh, RTH di
sepanjang pesisir pantai juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari
strategi mitigasi bencana. Selain itu, ia juga berperan untuk mengatur
tata air, pencegahan banjir dan erosi, serta memelihara kesuburan tanah.
Sementara itu, RTH di dalam kota seperti RTH di sempadan sungai dan di
sepanjang jalan berfungsi peneduh/penyejuk, penetralisasi udara, dan
keindahan dan menjaga keseimbangan iklim mikro. Untuk mendukung
keberadaan RTH dan menjaga keseimbangan iklim mikro, Kota Banda Aceh
juga didukung oleh beberapa kawasan tambak, tandon, kawasan bakau dan
tujuh aliran sungai yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air
(catchment area), kegiatan perikanan, dan sebagainya.
Selain itu, Kota Banda Aceh juga melakukan peningkatan/revitalisasi
hutan dan taman Kota. Juga dilakukan pemeliharaan berkala terhadap 74
taman, 10 areal perkuburan, taman pembibitan (7.12 Ha), dan hutan kota
(6 Ha) yang ada di Kota Banda Aceh
2. Mataram
Badan Perencana Pembangunan Daerah Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat
telah menetapkan gerakan pengembangan satu rumah satu pohon sebagai
upaya melibatkan masyarakat untuk membuat Kota Mataram lebih hijau.
Target RTH 30% yang terbagi 10% untuk privat dan 20% untuk publik dimana
saat ini krnutuhan privat sudah terpenuhi. Sementara RTH publik masih
kurang sekitar 8% dari 400 h lahan yang tersedia untuk masa 20 tahun
kedepan.
Pemerintah Kota Mataram bersama dengan Pemerintah Pusat yang
berkolaborasi dengan P2KH menggencarkan Green Open Space adalah
perwujudan dari kualitas, kuantitas dan jejaring RTH perkotaan. Green
Waste merupakan penerapan prinsi 3R yaitu mengurangi sampah/limbah,
mengembangkan proses daur ulang, dan meningkatkan nilai tambah.
Selanjutnya Green Transportation bagian dari pengembangan sistem
transportasi yang berkelanjutan misalnya, transportasi publik, dan jalur
sepeda. Kemudian Green Water adalah upaya meningkatkan efisiensi
pemnfaatan pengelolaan sumberdaya air.
Selain itu atribut Green Energy adalah pemanfaatan sumber energi yang
efisien dan ramah lingkungan. Green Building merupakan bangunan ramah
lingkungan (hemat air, energi, dan sturktur).
Terakhir adalah Green Community adalah upaya peningkatan kepekaan,
kepedulian, dan peran serta aktif masyarakat dalam pengembangan
atribut-atribut kota hijau.
3. Surakarta
Pemda di Jawa Tengah sudah memiliki persepsi yang sama tentang kewajiban
menyediakan 30% – 20% oleh pemerintah, meskipun memang berat untuk
pemerintah kab/kota karena kendalanya sangat besar, misalnya kemampuan
menyediakan lahan untuk RTH. Oleh karena itu Pemerintah pusat melalui
Dirjen Penataan ruang memberikan stimulant dalam bentuk pendanaan P2KH.
di Jawa Tengah telah dilaksanakan di limabelas kabupaten/kota. RTH
publik adalah ruang hijau yang tidak hanya bisa dipandang tetapi juga
bisa diakses langsung oleh masyarakat selama 24 jam, dimana manusia bisa
beraktivitas di dalamnya.
Untuk Kota Surakarta unsur-unsurnya sudah mulai bertumbuh, karena sudah
ada green planning and design, green open space, green transportation,
dan green community
Sosialisasi tentang UU dan Perda penataan ruang disampaikan pula kepada
kader PKK Kota/kabupaten se JawaTengah. Tujuannya saat penerapan perda
dengan pemberian sanksi akan mulai dilaksanakan, maka fungsi dari
ibu-ibu PKK karena PKK memiliki data paling lengkap untuk mengkondisikan
lingkungan, dan berada di tataran masyarakat yang paling bawah untuk
implementasi tata ruang.
Ir. Arief Nurhadi dari Bappeda Kota Surakarta menjelaskan bahwa sesuai
UU 26/2007 Kota Surakarta perlu diwujudkan, karena memang orang-orang
jaman dulu yang hidup dekat dengan alam memiliki umur yang lebih panjang
dan hidup lebih tenang, Untuk memenuhi 30% kota solo susah tapi dengan
komitmen antara pemerintah, SKPD dan masyarakat akan dapat diwujudkan.
Saat “demokrasi anarkis” banyak RTH yang diduduki oleh masyarakat, RTH
di Surakarta awalnya sudah ada 14%, dan diupayakan kmbali pembebasannya
sehingga saat ini hampir mencapai 18,2% dan dalam periode tidak terlalu
lama dapat terwujud 20%. Implementasinya dengan strategi lahan yang
sangat sempit di pinggir jalan. Pagar pemisah antara jalan dan kavling
dibongkar dan diganti dengan taman dan pepohonan, misalnya pagar 40cm
bisa menjadi taman yang lebarnya 1,5 meter memanjang sepanjang gedung.
Daerah sempadan sungai masyarakat sudah direlokasi dan sekarang diolah
sebagai urban forest untuk paru-paru kota dan tempat interaksi
masyarakat yang menarik. Taman Banjarsari yang berubah jadi kumuh oleh
PKL ditata dengan solusi-yang saling menguntungkan untuk dimaksimalkan
sebagai RTH. Perluasan hutan kota diperkuat dengan SK Walikota yang
intinya lahan terbuka hijau untuk dilestarikan untuk RTH baik milik
pemerintah dan swasta. UNS dan ISI sebagai lahan privat juga telah
memberikan contoh dengan menggunakan lahan yang dimilikI
Pemeliharaan RTH kalalu dibebankan kepada pemerintah akan berat, maka
untuk pemeliharaan sudah dibagi sesuai porsi penanganannya. Pemkot
Surakarta dikelola Dinas Pertamanan adalah taman-taman skala kota (taman
besar), sedangkan RTH skala kecil diserahkan ke Kecamatan dan
Kelurahan, sehingga mereka telah berdiri sebagai SKPD untuk mengelola
taman-taman tersebut. Selain itu melibatkan masyarakat secara
kelembagaan sudah memberikan partisipasi akan membantu
pemeliharaan/peningkatan RTH kota.
C. Kesimpulan
Ruang Terbuka Hijau memiliki banyak manfaat selain mengurangi dampak
permasalahan lingkungan yang penulis sebutkan di atas yaitu dalam
memperindah lingkungan kota, cadangan oksigen, tempat rekreasi penduduk
sekitar, tempat olahraga, komunikasi, pendidikan, dan juga menciptakan
peluang ekonomi.
RTH juga dapat membawa pengaruh yang baik pada perasaan penduduk
yaitu merasa damai dan bahagia, jauh dari stres. Sayangnya, penambahan
RTH sangat sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan adanya masalah dalam
pembelian dan ketersediaan lahan yang ada.
Kebutuhan RTH sangat mendesak. Terlebih dampak dari ketidakseimbangan
lingkungan yang terjadi sekarang, tentu penting untuk membangun RTH.
Keseimbangan akan terjamin jika ada keserasian antara lingkungan alam
itu sendiri dengan lingkungan kota. Kualitas lingkungan kota akan
terjaga bahkan lebih sehat, indah, nyaman, dan bersih dengan adanya RTH
terlebih jika kondisinya 30% dari luas wilayah suatu kota.
Pengembangan RTH di suatu kota memiliki pola yang berbeda. Hal ini
karena adanya perbedaan kondisi fisik dari wilayah kota itu sendiri,
pola kehidupan masyarakat dan kebijakan pemerintah.
Sumber :
http://penataanruangjateng.info/index.php/agenda/9
https://www.google.co.id/search?q=RTH+KOTA+BANDA+ACEH&oq=RTH+KOTA+BANDA+ACEH
http://www.antarantb.com/berita/26836/bappeda-terapkan-pengembangan-satu-rumah-satu-pohon
http://analisadaily.com/lingkungan/news/pentingnya-rth-di-tengah-kepadatan-kota/186574/2015/11/08